Kamis, 13 Mei 2010

Ingin Terus Kau Sambangi


kanjeng Nabi....,
mengapa mendadak aku rindu sosokmu? ?

tapi Nabi,....
rinduku ini
yang seperti ini
temporal saja,
selalu begitu.
meski ia -kadangkala-
bisa berpangkat, berlipat ganda dalam entah berapa bilangan eksponensial
hingga yang terasa saat itu, betapa rindu membuncah dan menggelegak di dalam sana

meski begitu........rinduku padamu Kanjeng Nabi.
tak butuh waktu lama untuk terkulminasi
untuk kemudian mengalun, menukik, menghantam dasar
hingga akhirnya pecah berkeping dan teronggok di lubuk hati
hingga hati ini pun lupa
bahwa pernah rindu sedemikian rindunya
bahkan pernah mendaku rindu

hati ini duh kanjeng Nabi..
yang kali ini mengaku rindu,
ringkih sekali...
sungguh ringkih

bolehkah saya matur, Kanjeng?
sebelum lupa kembali datang

bahwa hati ini ringkih, lemah, manja dan rentan sakit
bahwa hati ini tak begitu ingin diobati,
tak begitu memilih untuk dikuatkan

hati yang ringkih ini, Kanjeng
......................................ingin terus kau sambangi.









Semoga Doa bukan Prasangka


"Tuhan,
sudah lama aku tak berdoa
saya takut itu prasangka
saya takut itu menuduh Panjenengan

yang tadi itu,
Aku mengilusi mata mereka
menunjukkan telaga fatamorgana
Aku membisikkan kembang
mendayagunakan lidah tak bertulang

yang tadi itu,
Hanya rutinitas tak berbekas
hanya ritual yang ku apal

"innahum yakiduna kayda waakidu kayda"
(aku), dan "mereka melakukan tipu daya. padahal Allah lebih pakar melakukannya".

aku sudah sedemikian ceremonialnya
tapi Tuhan,... mereka menyukainya.
adakah syukur wajib atas yang seperti ini?

Soal doa, Tuhan...
tak ku haturkan saja.

entah pinta, entah duga prasangka
Panjenengan Maha tahu.
juga soal kealpaan, kemangkiran dan mbolosnya saya dari berdoa.
saya ngalap cukup dulu bi "ud'uni astajib lakum".

wallahu a'lam bi al-shawab

*Mancasan kidul,12 Mei 2010*
[ini hasil kontemplasi saya. Dan maaf baru sampai reformasi diri, belum nyendak reformasi negara seperti kebanyakan orang. ah....... betapa harus diupgradenya processor hati, kapasitas intelektual, dan kepekaan historis saya. Salut untuk kalian ]

Jumat, 30 April 2010

Bakat (Kyai) NU


Sudah hampir sepekan kiranya media massa nasional mendadak “hijau”. Dari Makassar,tempat muktamar Nahdlatul Ulama (NU) digelar, Hijau, warna kebesaran NU menyebar ke seluruh nusantara. Eksposure yang semacam ini tentu tidak berlebihan. Mengingat NU adalah jamiyyah terbesar yang ada, tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia. Tentu pertimbangan yang dibuat bukan didasarkan sebatas pada banyak sedikitnya masa yang terafiliasi di dalam NU dan teridentifikasi sebagai nahdliyyin. Kontribusi NU terhadap bangsa dan Negara Indonesia tetap menjadi parameter utama.

Membincangkan kontribusi NU terhadap Negara ini tentu hal yang menggelikan kalau ditujukan sebagai upaya untuk ngundat-undat atau “renumerasi”. Pada kondisi tertentu bahkan sikap bertanya perihal kontribusi NU sama halnya dengan pengalpaan terhadap sejarah. Hanya menunjukkan bahwa kita sedang mengalami amnesti yang sangat parah terhadap sejarah. Sebagai jam’iyyah yang berumur lebih tua dari Indonesia,kontribusi NU terhadap Negara ini tidak perlu diragukan lagi.

Yang menarik ketika menyimak perbincangan NU tentu soal bagaimana seharusnya NU berkontribusi. Apakah terus berada di akar rumput bersama masyarakat. Atau ikut terjun bebas ke dalam percaturan politik (real politic). Pencarian akan jawaban dari pertanyaan ini selalu diiringi perdebatan internal NU, mengundang beragam kritik dari luar, sekaligus memunculkan frase “kembali ke khittah NU”. Frase ini bagi sebagian elite nahdliyyin yang menganggap terjun ke politik praktis sebagai tuntutan zaman, dihadapi dengan dengan gamang. Ada kesan bahwa mereka yang pro politik enggan diberi label “orang yang tak tahu adab” dan “ingkar pada komitmen”. Sebab NU, walau sebuah organisasi namun punya ciri khas berupa penokohan kyai atau adanya figur sentral, bukan sistem organisasinya.

Realita bahwa NU punya masa yang besar dengan kohesivitas yang tinggi merupakan godaan yang paling nyata bagi NU untuk terjun di arena politik praktis. Ditambah suplemen berupa model eleksi di Negara demokrasi seperti Indonesia yang membuat berpolitik semakin menggiurkan. Adapun bobroknya birokrasi Negara ini berperan memanggil “jiwa malaikat” para elite NU yang berasal dari kalangan kyai untuk membenahinya. Barangkali konsepsi kyai atas birokrasi yang baik adalah kata yang sekarang juga sedang booming, good governance. Bukankah kombinasi kesemuanya –yang dalam bahasa Komaruddin Hidayat: adanya kesempatan, rayuan, panggilan dan cita-cita- memang mengafirmasi NU untuk terjun dalam berpolitik?

Namun ada satu hal yang kurang dikalkulasi dengan cermat. Bahwa politik adalah politik. Banyaknya istighosah, kalkulasi modal dan prediksi kemenangan atas dasar potensi (yang belum tentu bisa realisasinya) saja tak cukup untuk memperoleh Gain. Atau jika kalkulasi sudah dilakukan maka terjunnya NU ke “kawah” politik, boleh jadi mengikutsertakan unsur “nekat”. Bagaimanapun juga “tata kelola” yang baik mutlak diperlukan kalau mau berpolitik. Dan, tanpa bermaksud mengecilkan, sepertinya tata kelola (baca: ilmu berpolitik) merupakan problem mendasar dalam NU. Keputusan NU misalnya, untuk merestui PKB sebagai partai tunggal (dengan kelar dari khittah?), terbukti tidak bisa menjadikan PKB (baca:NU) sebagai pemenang, sebagaimana dalam asumsi di atas. Ironisnya partai itu kini malah pecah. Kohesivitas massa NU, yang katanya berkisar 40-60 juta jiwa itu, ternyata hanya berhenti di bawah tratag-tratag peringatan maulid dan majlis istigosah. Naas.

Hubungan NU dan politik memang bukan soal jodoh atau tidak jodoh. Manusia dalam versi aristoteles adalah zoon politicon yang sepadan artinya dengan political animal. Soal bagaimana “si animal” ini berlaku pak Machiavelli punya penjelasan yang bagus di bukunya Il Principe . Bagi bung komaruddin (yang kebetulan tadi bukunya saya baca di Gramedia), hubungan NU dan politik adalah soal reliable dan tidaknya para ulama NU untuk berpentas di panggung politik. Reliable itu dalam benak saya punya kaitan yang erat dengan “kullun muyassarun lima khuliqa lahu” atau “man yuridillahu bihi khairan yufaqqihhu fi al-dien”. Dan sepertinya NU, setidaknya para Kyainya diberi kemudahan oleh Allah untuk bertafaqquh, juga untuk ngemong masyarakat.

Selingan; Tips berkendara di Jogja





Punya tunggangan saat kuliah di jogja memang sifatnya relative. Bisa primer, sekunder atau tersier. Tergantung tiap idividu mahasiswanya. Bagi mahasiswa yang aktif, entah itu studying, clubbing, travelling atau playing, kendaraan seperti motor adalah kebutuhan primer.

Di jogja, yang agak membedakan dengan daerah lain, adalah bahwa yang mutlak dibutuhkan ketika seorang berkendara bukan SIM, STNK atau surat resmi yang lain. Juga bukan pemahaman yang baik terhadap rambu lalu lintas. Sudah rahasia umum kiranya bahwa razia kelengkapan berkendara hanya ada pada tanggal tua dan di jalan-jalan itu saja. Jalan tikus yang ngadug-diug di jogja sudah cukup buat mengatasi “kendala” yang semacam ini.

Yang mutlak anda perlukan adalah ilmu kebatinan yang bagus. Ilmu kebatinan tingkat tinggi. Sebab kultur berkendara, terutama sepeda motor, di jogja, memang seperti itu adanya, menuntut kepiawaian membaca pikiran orang lain yang sedang berkendara. Membaca kapan orang di depan anda akan belok, membaca bahwa perempatan atau pertigaan benar-benar sepi dan menjamin tak akan ada kendaraan lain yang nylonong begitu saja, membaca jika orang di belakang anda akan menyalip secara serampangan, menyalip dari sisi kiri, menyalip dari kanan untuk kemudian secara mendadak belok kanan dan seterusnya dan seterusnya.

Yang perlu anda camkan juga, jangan tergesa memvonis misalnya “bahwa saraf motorik para pengendara motor di jogja korslet, nggeser riting ke kiri dan ke kanan saja tidak bisa!”. Ampun keseso. Ingat Jogja itu “alon-alon waton kelakon”. Dan itu hanya membuktikan bahwa maqam ilmu kebatinan anda belum se-level dengan para pengendara motor di jogja. Perlu diingat juga bahwa “waton” haruss dibedakan dari “aasal”. Sebab, sering juga kita dengar “alon-alon asal kelakon”. Waton tidak mengandung arti spekulasi, ngawur, dan tidak konseptual seperti yang dikandung oleh kata “asal”

Atau kalau anda menganggap ilmu kebatinan terlalu klenik dan tidak bersifat akademik. Maka sebaiknya anda punya keterampilan statistika terapan yang cukup baik saat berkendara di jogja. Namun karena ilmu ini bersifat akademik maka validitasnya ditentukan oleh uji empiric. Dan uji empiric ini tentu saja agak repot. Sebab mau tidak mau harus melibatkan observasi partisipatoris, terjun langsung. Waktu dan perhatian anda akan banyak terkuras untuk ini.

Keduanya, baik ilmu kebatinan tingkat tinggi ataupun keterampilan statistika diperlukan mutlak diperlukan di jogja. Sebab ya itu tadi, akan banyak sekali kejutan. Tambah repot kalau, anda ternyata orang yang tak terlalu sabar.

Menguasai atau setidaknya mengerti sedikit salah satu keduanya urgen sekali di jogja. Namun jika anda tidak suka keduanya, maka MBAWOR adalah opsi terakhir.

Mereview Manthiq sambil Belajar Filsafat



Alhamdulillah ujian telah selesai. Ada banyak waktu luang untuk membaca ulang buku-buku yang telah saya beli. Semula, minggu ini, saya jatahkan untuk mempelajari filsafat bahasa, linguistic dan semantic. Namun karena ada titipan dari pak Lik untuk membelikan beberapa buku, diantaranya logika, saya pun tertarik untuk membuka kembali sullamul munawraq. Ilmu yang dibahas dalam buku (baca; kitab) ini,sepengetahuan saya, tergolong angker di pesantren salaf. Jadi andai, anda mondok di pesantren salaf, jangan harap bisa langsung ngaji kitab ini di tahun pertama.

Tulisan ini adalah rekaman belajar saya, mengulang pembahasan qiyas iqtiraniy (silogisme kategorik). Dan karena saya new beginner dalam ilmu mantiq (ngajinya Cuma sampai anwa’ dalalah), kalau ada yang salah silakan pembaca meluruskan.

Latihan 1
Muqaddimah kubro : Semua bank yang sehat tidak akan mengalami krisis likuiditas
Muqaddimah sughro : Bank Century mengalami krisis likuiditas
Natijah : Jadi bank Century bukan bank yang sehat.

Valid dan sah tidak?

Natijah : Bank Century di-bail out oleh BI
Muqaddimah sughro : Krisis likuiditas Century berpotensi sistemik
Muqaddimah kubro : Bank yang berpotensi menimbulkan krisis sistemik di bail out oleh BI

Valid dan sah tidak?

Dari silogisme
Pemberian dana bail out dalam common sense sarjana ekonomi adalah suatu hal yang lazim dan legal diperuntukkan bagi bank yang mengalami krisis likuiditas dan berpotensi sistemik. Sebab, urutan berpikirnya (baca: prosedurnya) kurang lebih seperti dua silogisme di atas. Adapun indikator ekonomi sewaktu bank itu kesulitan likuiditas adalah konteks, tidak lebih dari data yang multitafsir (silakan kalau mau memainkan “ al’ibrotu bi ‘umum al-lafdzi la bi khususi al-sabab”). Andaipun data itu diolah sedemikian rupa, probabilitas untuk salah tetap ada.
Singkatnya, menurut kaidah logika, jika dana bail out dikucurkan maka selesai sudah urusan Century.

Bahwa logika bersifat kaku adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Kekakuan ini tak lepas dari fakta bahwa logika tidak mengizinkan adanya kemungkinan ketiga (principium exlusi tertii/ qanun imtina’). Karena terjebak dalam kekakuan ini, para pembuat kebijakan pun hanya melihat solusi pada bail out. Pembuat kebijakan itu tidak melihat adanya solusi alternatif (baca: jalan tengah) selain bail out. Dengan demikian dalam analogi saya, pembuat kebijakan itu tak ubahnya supir yang banting stir gara-gara melihat fatamorgana.

Terkait kekakuan logika, sejak berabad-abad yang lalu Plato telah menawarkan metode dialektika untuk mencari jalan tengah. Dialektika, yang bekerja pada tesis dan antitesis menuju sintesis dalam jumlah yang (bisa) tidak terbatas, dengan sangat baik merepresentasikan sifat penyelidikan filsafat yang radikal (sampai ke akar) sekaligus bahwa pertanyaan dalam filsafat jauh lebih penting dari jawaban. Dan keberanian untuk bertanya adalah fundamen pokok filsafat.

“Pelajar filsafat harus berani bertanya sampai ke akar-akarnya”, begitu dalam buku filsafat yang saya baca. Namun karena –sekali lagi- saya new beginner, maka saya kutipkan saja pernyataan yang relevan (mudah-mudahan benar). Pernyataan yang saya maksud adalah pernyataan Jusuf Kalla bahwa telah terjadi “perampokan” oleh manajemen Century. Tentu saja “perampokan” tak tak terlontar begitu saja oleh JK. Setidaknya JK telah berani bertanya “mengapa Century sampai kesulitan likuiditas?” terlebih dahulu. Sebab berdasarkan qiyas (silogisme) di atas, bank yang sehat tidak mungkin mengalami kesulitan likuiditas. JK, sepertinya pernah belajar filsafat.

To be continued

Minggu, 02 Agustus 2009

’Bijak’ , ’tak Bijak’ dan Situasional

’Bijak’lah

Dulu aku pernah pernah tergabung dalam kategori orang ’bijak’ versi pemerintah. Bahkan aku dan jutaan orang lain di pelosok nusantara, mungkin tergolong terlalu cepat ’bijak’. Mengingat kami-aku dan mereka- belum memnuhi syarat untuk menjadi ’bijak’. Pun demikian aku dan mungkin mereka tanpa sadar telah merasa bangga dan dibanggakan. Terutama oleh pemerintah.
Aku tak ingat kapan dan entah karena motif apa ada pergolakan, pemberontakan dalam diriku. Ia menolak tunduk dan terus menjadi ’bijak’. Di dalam diriku pun terjadi pergulatan, adu argumen dan antara dua kubu, yang terus ingin menjadi ’bijak’ dan yang enggan ’bijak’ lagi. Dan aku, tanpa tau mana ilham tuhan dan mana bisikan setan, menjadi juri atas diriku sendiri, atas pegulatan antara keduanya. Akan terus ’Bijak’ atau tidak.

”Silakan salah satu dari kalian mengajukan alasan kalian masing-masing. Dimulai dari kau ’Bijak’.” aku memulai persidangan.

Si ’Bijak’ mulai memaparkan semua pertimbangannya.

”Tuan, memang benar kalau bayi terlalu cepat dilahirkan, prematur, biasanya kurang sehat, tapi Anda dan mereka yang terlalu prematur untuk ’bijak’ ini sungguh tidak seperti bayi. Anda justru, telah melakukan banyak hal, tidak merepotkan sebagaimana bayi.”

”Maksudmu? yang lebih riil...” aku minta penjelasan yang lebih gamblang pada si ’Bijak’.

”Dengan terus melanjutkan menjadi orang ’bijak’ berarti anda telah membantu menopang keuangan pemerintah, menghidupi banyak pegawai negeri dan membuat banyak jalan dibangun.”

”Dalam bidang olahraga, menjadi ’bijak’ berarti ikut berkomitmen memajukan olahraga nasional, mulai sepakbola, bolavoli, futsal badminton, sampai motocross. Anda dan manusia Indonesia lain tak akan menonton liga Italia, Spanyol, Inggris Jerman, atau jika anda nasionalis, ISL, IBL tidak akan terselenggara tanpa ada orang ’bijak’.”

”Ooo.... berarti karena itulah pemerintah menyebut aku dan jutaan orang lain, lewat spanduk yang direntang di jejalanan, di tikungan dan perempatan, di depan institusi pemerintah, di lapangan dan di semua tempat strategis, sebagai orang ’bijak’. Semua spanduk itu tentu saja untuk menunjukkan pada khalayak bahwa aku juga berjasa bagi pemerintah dan bangsa dan karena itu menjadi pinuji?” aku bertanya dan mulai terpengaruh oleh pemaparannya yang rasional sekaligus emosional.

”Lebih dari itu..! Dengan menjadi ’bijak’, bagi manusia yang tak merasa cerdas, sebenarnya dia tak kalah dengan anak turun Habibi yang sedang bergelut di olimpiade, sebab dengan menjadi ’bijak’ dia akan membantu mereka yang mampu tapi tak mampu. Tengoklah di universitas seluruh Indonesia ada berapa skim beasiswa buah ’bijak’nya dia dan juga anda? Atau lebih gampangnya googling saja! Artinya kalau anda berhenti menjadi ’bijak’ maka tak akan ada lagi Habibie-habibie terlahir di pertiwi”

Ku tarik laptop di sampingku, segera saja ku lihat barang bukti yang disodorkannya tadi. Dan memang benar apa yang dikatakannya. Dengan menjadi ’bijak’ aku juga ikut berperan terhadap pendidikan nasional.

”Di bidang seni, anda juga ikut menyumbang agar kreativitas anak bangsa bisa di tonjolkan, ditunjukkan pada dunia luar, bahwa Indonesia juga bisa dan punya Indonesian idol. Bahwa kita masih punya pangeran dangdut setelah sang raja yang karena merasa tak pantas mentas karena telah udzur dan lebih berkonsentrasi untuk akhiratnya. Dan semua itu menegaskan bahwa dunia musik kita bukan kelas medioker, bukan semenjana seperti yang selama ini orang sinis dan pesimistik terhadapnya. Anda ikut andil dalam semua itu. Begitulah keprematuran anda untuk ’bijak’ sungguh punya banyak manfaat.”

”Yaa aku paham ’manfaat menjadi bijak’ memang merangkum seluruh sendi kehidupan, muta’addi lah kiranya dan muta’addi afdhalu min al-qashir”. Aku bergumam lirih.

”dan karena itulah sebagian besar orang ’bijak’ adalah orang Islam. Bahkan pak kiai, yang ’alim-’alim dan saleh-saleh itu juga kebanyakan adalah orang ’bijak’. Mereka semua menjadi ’bijak’ juga atas dasar pertimbangan maslahat itu.” si ’Bijak’ menimpali, rupanya ia mendengar gumam lirihku tadi.
Bahkan ia melanjutkan. Namun kali ini mulai tidak jelas.
”......selain itu, dalam bidang ini itu dan tiu pemberani, tangguh,.... selera pria,... bukan basa-basi..., enjoy aja bijak’....mantap, real adventure..slim, impo...” suaranya mulai meracau tak jelas, mungkin karena saking bergairah untuk tetap menjadikan aku sebagai orang ’bijak’.

”Cukup ’Bijak’...!” aku membentak. Aku rasa itu semua sudah cukup dan andai bukan karena telingaku ada dua pasti aku akan tetap ’bijak’. Hanya saja kita harus mendengarkan pembelaan dari ’tak bijak’.”

”Setelah jeda sidang, giliran kau ’tak bijak’, apa yang dapat membuatku percaya padamu dan menjadi tidak ’bijak’ lagi? Sampaikan nanti.”
” Keputusan yang mengikat baru akan diambil setelah ’tak bijak’ menjelaskan alasan-alasannya. Untuk masa jeda sidang dan mengantisipasi kemungkinan transisi saya nyatakan bahwa untuk saat ini kita anut prinsip SITUASIONAL. Sesekali boleh ’bijak’ dan boleh tidak. Thok....thok... ” palu aku ketukkan dua kali, menandai rehat.





Rupiah Menguat, Utang Semakin Ringan Apa Iya?

Utang semakin ringan, apa iya

Berita di media kemarin sungguh melegakan. Angin segar menyapa wajah ekonomi Indonesia; rupiah terus menguat, imbas positifnya adalah nilai utang kita yang semakin kecil. Beban utang yang dipikul oleh Indonesia memang sedikit lebih terasa ringan karena tren positif yang terus diperagakan oleh Rupiah terhadap Dollar Amerika. Andai semula utang kita 10 USD, dan 1 USD setara dengan 150 Rupiah, artinya utang (tanpa bunga) kita adalah 1500 Rupiah. Karena rupiah menguat, dari yang semula 150 per 1 USD menjadi 100 per 1 Dolarnya, maka utang kita secara otomatis juga menjadi berkurang menjadi ”hanya” tinggal 1000 Rupiah tanpa ngoyo, tanpa pemerintah mengeluarkan uang sepeserpun. Sekedar mengingatkan, sebelum masuk ke pembahasan, semua yang saya tuliskan diatas adalah sebuah simplifikasi, hanya penyederhanaan. Sebab pada kenyataannya, utang Indonesia jauh lebih besar, dan yang namanya utang tetap saja membebani, sekalipun telah menjadi ringan. Selain itu, masih dalam rangka mengingatkan, yang namanya utang dalam konteks hubungan luar negeri tidak pernah melulu didasarkan atas friendship apalagi kemanusiaan. Selalu saja ada konsekuensi baik ekonomi maupun politis yang menyertainya. Sebab bagi orang Amerika dan sekutunya there’s no free lunch. ”innama al-a’malu binniyati” kata Kanjeng Nabi mengingatkan.

Utang, dalam pembangunan, pada mulanya memang hanya difungsikan sebagai tiang tambahan, hanya faktor pembantu, bukan soko guru bagi pembangunan itu sendiri. Hanya saja karena there’s no free lunch, utang selalu selalu dipasang sebagai umpan sekaligus jebakan. Jadi sulit sekali, bahkan mustahil untuk bisa mengambil umpan itu tanpa terjebak masuk ke dalam debt trap.

Khusus untuk Indonesia, kata Cak Nun, ngutangnya kita ini bukan karena negara kita butuh ”pembantu” melainkan lebih karena sikap tawadlu’ kita terhadap dunia. ”biar disangka miskin, biar disangka tak mampu dan biar disangka bodoh dll. Toh Tuhan tahu bahwa sejatinya kita tidak demikian. Kita adalah negara kaya” demikian tulis Cak Nun.

Kembali ke Utang Vs Rupiah.

Karena sedari awal tulisan ini hanya merupakan sebuah simplifikasi, maka kita anggap saja beban yang kita pikul, terkait masalah utang, hanya tinggal utang dan cicilan bunga saja. Sedangkan faktor lain yang termasuk lawazim-nya utang kita eliminasi, kita anggap tidak ada atau sudah beres (semoga).

Karena yang tersisa tinggal kewajiban membayar utang dan cicilan, maka tugas kita sekarang tinggal membayarnya. Katakanlah, berdasarkan penyederhanaan di atas total utang kita adalah 1200 Rupiah. Yang 200 dari mana? Ini adalah bunga yang telah ”mekar”, yang seringkali terabaikan. Sebab saat meminjamnya bunga itu masih ”kuncup” dan baru ”mekar” saat jatuh tempo. Lalu kita bisa langsung ”setoran terhadap negara kreditur? Tunggu dulu. Lihat dulu berapa uang (dollar) yang ada di ”kantong ” APBN kita! Karena (sebagian ) utang kita denominasinya adalah dolar, artinya kita juga harus mbayar pakai dollar juga. Pun demikian, dollar yang kita punyai ini tidak bisa semau gue kita gunakan untuk mbayar utang semua hanya semata-mata karena aji mumpung rupiah menguat. Kita harus ingat juga bahwa, karena tawadlu’, negara ini membeli barang dari luar negeri (impor), walau sebenarnya barang yang kita beli juga ada di dalam negeri. Dan impor itu mbayarnya pakai dollar yang ada dikantong kita juga. Artinya uang yang ada di kantong kita yang sedianya akan digunakan untuk ”melunasi” utang berkurang karena unuk membiayai impor kita. Permasalahnnya sekarang berapa uang (dollar) yang kita miliki?

Uang yang akan membiyai impor dan membayar utang, seringkali diistilahkan sebagai devisa, merupakan penghasilan yang kita peroleh dari ekspor kita. Dari hal ini kita juga akan mengajukan tanya, berapa volume ekspor kita sekarang? Saya tak punya data untuk itu, dan karena saya tak ingin ngawur, maka ”jurus” yang akan saya pakai sekedar jurus ”meraba-raba”. Yang akan kita ”raba” adalah kondisi ekonomi dunia. Sebab ekspor yang berarti menjual barang ke luar negeri maka dengan sendirinya akan terkait kondisi perekonomian negara-negara maju tujuan ekspor kita. Sekedar menyegarkan ingatan, bahwa saat ini ekonomi dunia sedang mengalami resesi, kelesuan yang parah. Kelesuan ini tentu saja menyebabkan volume ekspor kita turun. Di sunia kondisi perekonomian yang bergairah bisa dihitung dengan jari. Itupun tak lengkap. Yang pertama China, kedua India. Negara kita, juga membuktikan kebesarannya dengan ikut termasuk dalam deretan ekonomi yang masih tumbuh ini. Dan negara yang tumbuh ekonominya itu bukanlah negara tujuan ekspor utama kita. Sebab negara tujuan ekspor kita justu emajon dalam maju. Sehingga pertumbuhan mereka negatif atau sangat rendah. Dus ekspor kita tak banyak. Dus, devisa yang kita punya juga tidak banyak, sedangkan utang kita tidak sedikit, disamping negara kita tetap butuh melakukan impor agar pabrik dalam negeri bisa tetap melakukan produksinya. ”Nah lho....utang turun, tapi uang untuk membayarnya juga tak ada!”


Soal kenaikan harga minyak

Apresiasi rupiah terhadap dolar Amerika juga dibarengi dengan harga minyak yang ikut naik. Di Indonesia, negara kaya tapi tawadlu’ ini, jika harga minyak naik maka harga minyak di dalam negeri juga akan naik. Kata pemerintah ” untuk mengurangi defisit APBN, sekaligus memperingan beban pemerintah” (dengan mengalihkan beban kenaikannya pada rakyat?).

Karena tawadlu’ juga negara kita ”sebenarnnya” punya minyak tapi tetap melakukan impor. Impor adalah membeli minyak di pasar internasional dengan harga internasional. Karena harga minyak sedang bergerak naik, maka kemungkinan besar pemerintah juga ingin cepat-cepat ”menyesuaikan” harga. Apalagi pemilu telah usai dan bahkan KPU telah mengumumkan siapa jawaranya. Dengan demikian pemerintah tak kurang alasan untuk segera menaikkan harga minyak. Dalam menjual minyak (BBM) ke masyarakat, pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh pertamina) memang tidak bertujuan untuk memperoleh profit (tapi jika bisa dan dalam jumlah yang banyak pula bukankah lebih bagus?). Yang jelas distribusi minyak dari pertamina kepada masyarakat saja diistilahkan ”jualan”. Implikasi dari kata jual adalah ketidakmauan untuk rugi.

Fenomena” impor minyak Indonesia tak lain juga berakar dari luhurnya nilai bangsa ini sehingga dalam urusan minyak Indonesia juga tak ingin ”serakah”, ingin selalu berbagi dengan orang lain. Karenanya, daripada melakukan eksplorasi dan ekstraksi secara mandiri sehingga terkesan egois, mending ”ngundang” orang lain untuk ikut bersama ”menikmati” yang kita punya. Kontrak kerjasama antara pemerintah dengan orang asing dinamakan KPS/ Kontrak Production Sharing. Jika ada dijumpai berita bahwa Indonesia mengekspor minyak, maka yang melakukan itu, sayang seribu sayang (atau justru puja tuhan), bukan Pertamina melainkan orang asing (KPS). Namun sebaliknya, jika ada berita impor minyak, maka bisa dipastikan impor itu dilakukan, sebagai bentuk ketawadlu’an, oleh Pertamina. Oleh Indonesia.

Sekali lagi, impor artinya kita keluar uang. Devisa kita berkurang lagi. Kalau begitu, sungguh nglunasi utang bukan perkara yang gampang. ”easy come” ternyata tak selamanya ”easy go”, hutang datang silih berganti tapi melunasinya susah setengah mati.

Rupiah menguat memang benar. Hutang otomatis berkurang tak salah dan karenanya kita bersyukur. Hanya saja sekarang berapa yang mampu kita bayar? Agar program pembangunan yang memang mendesak untuk dilaksanakan tidak terbengkalai. Juga agar kita tak menjadi dzalim karena termasuk kategori mathlul ghoniyyi, menunda membayar utang padahal kita mampu (hanya sedang tawadlu’). Optimisme ”bahwa kita mampu melunasi utang” memang wajib terus berkumandang dan diupayakan. Namun realistis dan tidak grusa-grusu dalam memanage masalah hutang juga penting. Semoga kita tak larut dalam ”euforia” menguatnya Rupiah yang jelas merupakan anomali pasca meledaknya bom Mega Kuningan. Mungkin juga apresiasi Rupiah sebatas bebungah, Tuhan sedang menghibur Indonesia setelah kemarin ditimpa musibah.






Kamis, 23 April 2009

Ego Extension Kyai

Semalam saya membaca renungan Muhtar Buchori (Indonesia Mencari Demokrasi, INSISTPress: 2005), tentang kesopanan, judulnya “Sopan, Correct, dan Kruiperig”. Dua istilah terakhir mungkin asing di telinga. Adapun artinya kurang lebih tingkah laku yang sesuai dengan etiket pergaulan untuk correct, sedangkan kruiperig artinya kesopanan pura-pura. Salah satu gagasan sentral dalam tulisan tersebut adalah pentingnya berlaku sopan secara benar. Maksudnya bisa menyeimbangkan antara keduanya; kesopanan dan kebenaran. Sebab berdasarkan pengamatan Muhtar Buchori keduanya seringkali timpang, sehingga yang lahir pada akhirya adalah kebohongan.

Ternyata susah juga untuk mencari ekuilibrium diantara keduanya saat ingin menuangkan pikiran dalam tulisan mengenai ego extension dalam kehidupan kyai ini. Invisible hands ala Adam Smith yang konon punya daya self-regulating ternyata susah untuk diterapkan dalam dua masalah nonekonomi ini. Namun dalam tulisan ini, walau pada kenyataannya susah, saya mencoba menyeimbangkan keduanya, agar tak ada kebohongan.

Saya menjadikan kesopanan sebagai semacam mukaddimah sebab obyek yang ingin saya tulis adalah Kyai. Sosok yang terhormat dan karenanya harus berlaku sopan terhadap mereka. Bahkan di Solo tidak hanya manusia bergelar Kyai yang di hormati dan disopani. Benda dan hewan pun bisa diperlakukan bak manusia dalam memperoleh kehormatan yang biasanya dialamatkan pada Kyai. Buktinya adalah Kyai slamet di Kolo dan banyak keris serta pusaka lain yang memakai Kyai sebagai julukan atau nama.

Kyai adalah sosok yang sangat terhormat. Apalagi di kalangan santri (pesantren salaf). Kyai adalah segalanya. Karenanya penghormatan, yang dalam istilah pesantren disebut takdzim, kepada mereka (kyai) adalah suatu yang sangat wajib. Dan karenanya takdzim santri itu seringkali berlebihan, bahkan kadang akan ada kesan kruiperig! Setidaknya, berdasar identifikasi Muhtar Buchori, kruiperig bercirikan perilaku penuh sanjungan terhadap orang lain dan merendahkan diri secara berlebihan. Dalam konteks hubungan antara santri dan kyai ciri ini bisa berlipat ganda. Di sinilah yang menarik, masih menurut Muhtar Buchori, jika manusia masih punya harga diri maka dia akan merasa muak menghadapi orang lain yang terus merendahkan diri. Namun,sejauh pengamatan saya, gejala ini tidak begitu terlihat dalam konteks relasi Kyai-santri. Yang ada justru Kyai sangat menikmati penghormatan itu, walau dalam bentuk kruperig sekalipun! Dalam bahasa yang vulgar, banyak Kyai yang gila dihormati! Jika diteruskan lagi maka, dengan sangat terpaksa saya katakan, ada beberapa Kyai yang tak punya harga diri. Contohnya, jika mencucup tangan merupakan suatu cara untuk menghormati orang lain, maka lihatlah betapa Kyai menikmati tangannya “dicucup” oleh santri! Tidak salah memang, demikian agama memerintahkan pemeluknya untuk menghormati orang yang berilmu. Dan “nyucup” tangan merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam konteks masyarakat Indonesia. Apalagi kyai identik dengan ulama. Sabda Nabi juga jelas “ulama adalah para pewaris Nabi”. Jika ditambah konsep barokah yang sangat lekat dengan dunia pesantren maka lengkap sudah alasan untuk menghormati kyai. tentu saja tidak semua Kyai demikian, gila dihormati. tapi ada beberapa.

Soal ego extension atau perpanjangan ego, atau perpanjangan rasa ke-aku-an berarti seorang anak yang diperlakukan oleh orang tuanya sebagai perpanjangan atau tumpuan rasa keakuannya (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Dalam dunia Kyai ego extension adalah sesuatu yang sangat kentara. Kebanyakan kyai yang (juga merupakan ayah) seringkali punya keinginan untuk menjadikan anaknya- sering disebut “gus”- lebih baik darinya atau setidaknya identik dengannya. Ego extension ini bisa dilihat pada serangkaian program penggemblengan yang dilakukan kyai terhadap anaknya sejak dini. Katakanlah, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) seorang gus harus hapal nadzam 'imrithiy (tata bahasa arab), selesai ngaji kitab fiqh yang ini, akidah yang itu dan begitu selanjutnya. Akan terus bertingkat setiap sang gus bertambah tingkat pendidikan dan usianya. Singkatnya seringkali kyai punya kurikulum khusus untuk menggembleng sang gus agar dia “berbeda” dan lebih dari santri-santrinya pada usia yang relatif masih muda. Sayangnya, saat memutuskan untuk berbuat itu kyai tidak memahami bahwa sebenarnya dia sedang melakukan pemaksaan nilai terhadap anaknya. Nilai yang tak lebih adalah kepanjangan dari obsesinya. Kepanjangan dari rasa keakuannya. Padahal menurut kajian pedagogi, tiap individu punya keakuannya tersendiri (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Jadi mungkin saja seorang anak kyai punya ego yang bebeda dari ayahnya Sebab keakuan (ego) ini, tidak muncul sebagai sesuatu yang instan, melainkan bertahap. Sejalan dengan perkembangan dan interaksi sosial seorang anak.

Banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa kejadian (ego extension) semacam ini sangat lekat dengan tradisi kyai. Salah satunya menurut saya adalah gelar kyai, yang merupakan suatu gelar kehormatan, diwariskan secara turun temurun. Meskipun sebenarnya pada awalnya gelar kyai bisa saja diperoleh dari nol. Dengan trukah, mendirikan pondok pesantren misalnya seseorang bisa saja mendapat sebutan kyai. Namun untuk kelajutannya akan terulang lagi, pewarisan gelar kyai pada gus. Adanya istilah gus juga merupakan pembenaran akan gelar kyai adalah sesuatu yang diwariskan. Dalam konteks ini, gus bisa saja dipahami sebagai kyai muda atau calon kyai. Padahal, sekali lagi gawagizs (bentuk jamak dari gus, berarti para gus) berdasarkan kajian pedagogi yang bersifat normatif tadi, punya ego mereka masing-masing. Ada yang mungkin sama dan mungkin juga berbeda dengan sifat (ego) ayahnya. Jika sama tentu tak ada masalah. Namun jika tidak, dan kyai tetap menjalankan kurikulum khususnya itu, yang terjadi adalah apa yang di sebut oleh banyak pakar sebagai sebuah pemaksaan nilai dan bukan penanaman nilai.

Ironisnya, walaupun kebanyakan gawagizs menjadi korban ego extension ini diawal hidup, setelah mereka jalani banyak juga yang akhirnya bahagia lahir batin. Mereka sukses berkat skenario pemaksaan nilai. Pendapat bahwasanya sebuah pendidikan hanya akan bisa optimal jika didasarkan pada penanaman nilai dan bukannya pemaksaan mendapat satu exception, pengecualian. Atau dalam bahasa pesantrennya kaidah “li kulli qâ'idatin mustastnayât”. Setiap kaidah pasti punya pengecualiannya. Dan santri, ketika menyimak fakta ini akan bersorak kemenangan bahwa apa yang dilakukan kyai mereka memang benar. Ego extension tidak terbukti berakibat buruk untuk Kyai yang mereka hormati “Ini urusan karomah. Persetan dengan ego extension, pedagogi dan analisis ilmiah!”

Kebahagian dan kesuksesan gawagizs yang notabene adalah adalah produk ego extension, bagi saya tentu bukan monopoli barokah semata. Ada hal rasional yang juga bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena ini. Selain internalisasi nilai yang walaupun dipaksakan tapi tetap berjalan dengan baik pada diri gawagizs, adanya reward atau kompensasi dalam lingkungannya juga ikut menopang kebahagian gawagizs tadi. Lingkungan? Ya! Pesantren yang terdapat banyak santri yang telah didoktrin sedemikian rupa untuk takdzim baik dalam bentuk correct atau kruiperig.

sekedar menjelaskan, kruiperig dalam bahasa pesantren dekat sekali dengan munafik.

wallahu a'lam bi al shawâb